Thursday, June 7, 2007

Sub-Kultur - sebuah permukaan


Istilah Sub-Kultur digunakan dalam ilmu sosiologi, antropologi dan studi kebudayaan untuk mendefinisikan sekumpulan orang dengan perilaku dan keyakinan yang berlainan dengan wilayah kultur dominan di mana mereka termasuk di dalamnya. Sub-Kultur dapat menjadi lain dengan kultur primernya akibat dari perbedaan usia, umur, jender, atau bahkan kualitas estetika dan aliran politik. Kadang-kadang, sub-kultur dimaksudkan untuk menggambarkan semangat oposisi terhadap nilai-nilai kultur dominan.

Dick Hebdige menyatakan bahwa tiap anggota dari sub-kultur terkadang mengidentifikasikan dirinya melalui simbol-simbol tertentu dan gaya hidup yang berbeda. Studi dari sub-kultur juga lebih cenderung menekankan pada gaya berpakaian, pemakaian simbol, musik, gaya hidup yang ditampilkan oleh sub-kultur dan juga pada pemahaman di mana simbol-simbol yang sama diinterpretasikan oleh kultur yang dominan. Jika sub-kultur dikarakterkan sebagai bentuk perlawanan sistematik terhadap kultur dominan, dapat diartikan juga sebagai kultur perlawanan.

Sub-kultur bukannya lahir dari ruang hampa. Ia selalu hadir dalam ruang dan waktu yang saling berkaitan dengan peristiwa-peristiwa lain yang menjadi konteksnya. Sub-kultur lebih akrab dan indentik dengan kaum muda. Karena tiap generasi muda selalu merepresentasikan gaya untuk menandingi nilai-nilai konvesional orang tua yang dianggap kolot dan represif.

Budaya anak muda adalah fesyen, musik dan pesta. Budaya orang tua kurang lebih juga sama, hanya memiliki perbedaan paradigma. Kelompok tua lebih menekankan pada usaha-usaha untuk memberikan pemenuhan kebutuhan dan penyiapan agar seorang anak mampu melalui proses transisinya menuju dewasa. Akibatnya terdapat dikotomi yang jelas antara masa muda dan tua. Tentunya pihak tua yang mempunyai legitimasi dan otoritas kuat akan berupaya keras mengantarkan proses tersebut secara wajar. Tanpa kecuali dan harus ditaati.

Fenomena ini menimbulkan gelombang perlawanan yang bermula dari rasa ketidakpuasan. Setiap usia memilki fasenya tersendiri. Dan ketika anak muda mendapat tekanan yang berpotensi menghambat daya kreatifitasnya, mereka akan mengadakan suatu bentuk perlawanan. Entah itu dalam bentuk simbol-simbol, gaya berpakaian, aliran musik, gaya hidup atau bahkan aliran politik. Yang penting berbeda dengan kelompok konservatif. Ini yang menyebabkan berbagai benturan paradigma yang tak bisa dielakkan. Anak muda selamanya berusaha mencari kedaulatan hidup dan menemukan maknanya. Ketika sindiran-sindiran mulai terarah, ada banyak pilihan, apakah ia akan berpaling [untuk dianggap dewasa] atau tetap berproses dan berpikir dinamis [dan dianggap belum dewasa].

- Jogjakarta -

No comments: