Thursday, June 7, 2007

Realita


Saat hari kemarin menghilang. Saat itu segala lepas. Berlalu dijemput malam. Suatu kehilangan yang memukau. Tanpa menimbulkan sebekas rindu. Satu persatu masing-masing peran perlahan memudar. Mereka sudah terlelap, membisu lalu hanyut. Begitulah dirinya. Menafikan sesal memuja masa depan. Merobek mimpi dan menatap keluh kesah. Secarik hari ini telah dipegangnya. Tak tahu untuk apa dan siapa, namun ia mantap meyakininya. Ia pemiliknya. Dan ia adalah realita.

Realita mungkin kontemporer. Hanya berlaku saat ini, zaman ini, dewasa ini dan hanya pada hari ini. Namun, itu tak selalu. Ada berbagai kontensi yang berlebihan saat realita mulai diperdebatkan. Ia tak cuma berlaku sementara, tapi ia hadir karena adanya hari depan. Realita hadir sebagai persiapan untuk jenjang berikutnya. Dengan meninggalkan satu kesimpulan bahwa setiap waktu adalah realita. Entah itu kemarin, hari ini dan masa depan.

Terkadang realita diaktualisasikan oleh dialektika kenyataan. Orang bermimpi dan beranggapan itu sebagai fakta yang masih samar. Ketika dihadapkan pada kenyataan yang berseberangan dengan kesamaran itu. Pikiran akan berontak. Itulah realita. Lalu berulangkali hidup senantiasa diiisi pergulatan antara tesis dan antitesis sampai munculnya skeptisitas terhadap realita.

Untuk menjawab cukup dengan mengembalikannya ke permukaan. Realita merupakan aset individual. Tak perlu mempermasalahkan waktu dan realita. Maxim Gorky menyatakan; “Orang seperti kami tidak suka akan pembicaraan yang berkaitan erat dengan masa lampau, dan selalu mempunyai alasan-alasan yang kurang lebih dibenarkan untuk tidak melakukan hal yang demikian, karena kami percaya akan jalan kami masing-masing; begitulah kami percaya luar-dalam meski memiliki keyakinan yang minim terhadap diri sendiri.” (Di Tengah Padang Rumput)

Saat Prabu Yudhistira meratapi kematian para putra dan kemenakannya dalam kemenangan Bharatayudha. Itulah realita. Amsal kubu Pandawa menderita kekalahan dan mengalami pembantaian keturunan oleh Kurawa, itu juga merupakan realita. Tak boleh dipungkiri. Semuanya sudah termaktub, hanya saja masing-masing peran yang tertulis terkadang belum sepenuhnya mengamini. Lalu apakah realita berkonotasi kepasrahan? Belum tentu. Realita adalah wujud formulasi guratan nasib diadu bersama keyakinan untuk mempertahankan diri.

Adakah yang masih menyalahkan realita. Karena mungkin saja ia cuma seorang bocah kecil yang duduk menatap secarik kertas bertuliskan “hari ini.” Tulisan tersebut tak akan pernah berubah sampai akhirnya sang bocah tereliminir waktu yang dikebiri oleh sesal.

Jogjakarta, akhir April 2007

No comments: