Thursday, June 7, 2007

Kita Adalah Epigon Sejarah


Kita adalah epigon sejarah. Bukan. Kita semata-mata plagiat.

Tidak layak jika peradaban masih terbengkalai oleh kesunyian moral. Ruang yang hadir menyediakan banyak kesempatan bagi pewaris kehidupan. Namun semuanya menguap oleh wabah liberalisasi jaman.

Kita lupa. Kita hilang. Resiko dari buah kesakitan susila. Belum puas martabat ditertawakan kehinaan. Sakit yang renta. Telah menggerogoti wajah keriput kehidupan.

Kita mempertanyakan sejarah. Dalam lintasan sejarah termuat substansi peradaban yang tersusun oleh garis-garis budaya. Semua adalah konstruksi humanis, proses interaksi yang tercemar oleh kesalahpahaman kultur. Baik kultur sosial, budaya, politik dan agama.

Pewaris merupakan tugas yang berat. Dari sekedar penjiplak.

Sejarah bukan untuk ditiru mentah-mentah. Mungkin itu luhur atau sampah. Tetapi untuk dijaga nasabnya dari ketidakkadilan kebenaran. Ketidakadilan yang lahir dari buah kebebasan.

Sejarah selalu jadi otoritas kekuasaan. Oleh karena itu sudah mahfum jika wajah sejarah selalu berganti. Tergantung dari topeng penguasanya.

Hidup selalu paradoks. Karena itu sejarah kadang tak berpihak ke rakyat. Sejarah menjadi bagian dari penguasa untuk merebut kehormatan rakyat. Kehormatan merupakan martabat. Martabat akan tenggelam oleh kebebasan yang diinjak. Digantikan oleh kebebasan lain yang dinamakan kemerdekaan.

Lambat laun sejarah akan menghilang. Kita lupa. Kita papa. Kenyang akan kebenaran yang dijejalkan ke kantung paradigma. Lalu kita akan meniru. Bukan mewarisi. Bukan pula melanjutkan. Setelah semuanya awam. Hanya akan menjadi kisah biasa. Dan diagungkan untuk diambil sari-patinya berlabel suri tauladan atau pengalaman. Karena pengalaman adalah guru yang baik. Tetapi bukanlah kebenaran.

Sejarah menjadi jumawa. Sejarah menjadi usang. Dan berakhir pada lembar-lembar buku pelajaran di sekolah.


Jogjakarta, Mei 2007

No comments: