Thursday, June 7, 2007

If There is a God


“If there is a God
I know He likes to rock
He likes to slap guitar.....”

[Billy Corgan & Radiohead, If There is a God]

Melintasi batas tafsir. Silakan jika anda menganalogikan sosok atheis yang mempunya hobi membanting-bantingkan gitar di atas panggung. Tapi saya bukan berminat untuk mengajak anda menjadi seorang liberal yang membebaskan akal dari istilah dogma dan dianggap sebagai kutukan. Saya juga bukan pendukung atau penentang Nietzsche dengan menyiratkan kutipan-kutipan di atas. Saya bukan nihilis, ataupun Atheis.

Banyak dijumpai hipokrasi teologis yang menjalar ke sendi-sendi kehidupan. Baik dalam lingkup teritorial-budaya secara khusus maupun kajian peradaban pada umumnya. Perintah tuhan diwartakan, diagungkan, dipaksakan, lalu dijadikan slogan. Dengan menafikan makna ketuhanan, samar bahwa dunia terlalu keji jika mengatasnamakan tuhan. Baik oleh masyarakat yang beragama atau mungkin masyarakat tak bertuhan.

Asma tuhan dilacurkan oleh seperangkat prostitusi jaman. Dengan semangat hedonis yang dihambur-hamburkan lalu diapologikan oleh kehadiran tuhan sebagai pembenar.

Apakah kita masyarakat bertuhan? Tuhan hadir melengkapi ruang keterbatasan manusia. Itu suatu tuhfat yang sangat berharga. Jika kita masih saja merasa terbatas dan menyembunyikan tuhan. Kemunafikan.

Manusia mengenyahkan nyawanya sendiri. Seolah ia tak perlu bantuan tuhan.
Manusia mengharapkan mati muda. Seolah tua adalah sebuah kesalahan.
Manusia mengangankan tak pernah dirahimkan oleh ibunya. Takut oleh kebengisan dunia.
Bukan takut kepada tuhan.

Tuhan benci pengecut. [God Hates Coward, Tomahawk]
Tuhan benci pecundang.
Kita adalah pengecut.
Kita sedang dipecundangi oleh diri kita.

Dipecundangi waktu
Dipecundangi amarah
Dipecundangi cinta
Dipecundangi situasi
Dipecundangi umur
Dipecundangi teman
Dipecundangi musuh
Dipecundangi malam
Dipecundangi nafsu
Dipecundangi setan
Dipecundangi dunia.

Lalu pelan membayang.
Kelahiran tak lagi dianggap keindahan.
Kematian bukan lagi kesakralan.
Kehidupan bukanlah hal yang mulia.

Waktu yang terbuang adalah sisa yang sumir.

Untuk semua epitaf yang terukir di atas batu-batu kenangan. Mereka bukan siapapun. Mungkin merasa dipecundangi oleh maut, mereka terdiam. Dibungkam oleh kehadiran tuhan. Bersama tumpukan sampah yang telah dikeluhkan pada-Nya.

Jogjakarta, Mei 2007

No comments: