Thursday, June 7, 2007

Eksistensi (Mungkin) Sebagai Harga Mati


Kadangkala sebuah pertanyaan diawali dengan sebuah perkiraan. Tentang hal yang mungkin atau juga tidak mungkin. Itu bukan hal baru ataupun aneh. Sebab, kemungkinan adalah suatu hal yang dapat dengan mudah menggamblangkan ekspresi keinginan menyampaikan pendapat dan mungkin saja akan membusuk dalam otak jika tak segera dituntaskan. Kali ini kita akan segera membahas tentang seluk-beluk kehadiran fenomena eksistensi dalam gaya bersolek pelaku industri social-makeover, dan hal tersebut lebih akan mudah diawali dengan sebuah perkiraan.

Mungkin wacana anak muda selalu bergolak ke arah perjuangan eksistensi dan bagi sebagian pihak terasa basi. Sebab tak ada yang baru dalam hal tersebut, hanya saja selalu ada kemasan-kemasan bervariasi, terbukti dengan meningkatnya tingkat pengekspresian diri dari tiap individu. Sejarah eksistensi selalu muncul dari akibat rasa-rasa ketidak-puasan akan kesamaan pola pikir dan paradigma hidup masyarakat. Kecenderungan untuk melakukan aksi yang bersifat baru (baca:beda) merupakan hal wajar ketika dihadapkan pada permasalahan bahwa sifat-sifat mainstream diidentikkan dengan pola pikir tak mandiri. Keseragaman gaya berpakaian, model rambut, selera bermusik bahkan sampai menyentuh ke area wacana politik seringkali mendapatkan tudingan sinis dari para aktor sosial yang berusaha menganggap gaya hidup mereka adalah lawan dari arus utama tersebut.

Eksistensi dalam pengertian umumnya adalah aliran filsafat yang memberikan perhatian besar pada “eksistensi individu” dan sifat-sifat primordialnya di dunia. Individu, atau ego, menurut kaum eksistensialis adalah wujud yang hakiki. Setiap individu memiliki alam sendiri dengan moral, aturan-aturan hidup, keyakinan dan pandangan hidupnya. Gaya paradigma tersebut mendorong masing-masing individu untuk berbuat bebas dalam menentukan kedudukannya di tata sosial masyarakat. Sehingga salah satu jargon yang selalu dikumandangkan adalah anti kemapanan. Kemapanan dalam hal ini bisa juga didefinisikan sebagai sesuatu hal umum yang telah menjadi kiblat untuk berpikir dan bertindak.

Para pengusung ideologi eksistensialis kelompok muda selalu berupaya dengan berbagai aksi-aksi individualistik kolektif untuk melawan gaya keseragaman berpikir masyarakat. Ada saja ragam variasi yang mereka lontarkan dalam menghadapi itu semua, antara lain dengan mendirikan komunitas-komunitas kecil, kelompok-kelompok diskusi, musik, politik, seni bahkan hobi atau kegemaran. Kesemuanya itu bermuara ke satu slogan berbenderakan anti-mainstream. Mungkin, kita semua belum terlalu menyadari bahwa semangat perlawanan akan arus utama akan menjadi sesuatu hal yang klise ketika pada akhirnya semangat tersebut menggeser kedudukan arus utama dan mengisi posisinya sebagai ideologi yang menghegemoni paradigma anak muda. Lihat saja fenomena gaya hidup anak muda dalam kurun waktu kurang dari sepuluh tahun terakhir ini. Misalnya saja, gaya rambut mohawk yang selama ini identik dengan komunitas punk dapat dengan mudah ditemui di mana saja. Dari perempatan jalan, pasar-pasar, masjid, bahkan ke mall-mall sekitar. Busana-busana desain distro yang dulu pada awalnya merupakan semangat perlawanan terhadap hegemoni industri kapital sekarang dipakai oleh setiap orang yang mungkin belum tentu paham akan makna perlawanan itu sendiri. Baju fred perry atau ben sherman yang dulunya didominasi oleh anak-anak scooter dan skinheads juga mengalami hal yang sama. Begitu juga dengan ikon-ikon dan peranti-peranti yang telah menjadi semacam simbol semangat dinamis dari anak-anak muda pengusung awal semangat indie.

Tak ada yang salah dengan itu semua. Karena walau bagaimanapun juga, setiap individu memiliki hak untuk bertindak dan berpikir sesuai dengan apa yang diinginkan, tanpa kecuali. Bahkan kita semua mungkin adalah pengusung madzhab eksistensialisme, karena dengan rela dan ketulusan hati membiarkan kemandirian diri dalam bersikap. Tetapi kemandirian yang mana? Karena segala sesuatu di dunia antah berantah ini telah dibentuk oleh wacana media. Dan inilah yang akan mengganjal posisi kemandirian kita. Tentunya akan ada pula semacam pertanyaan penting; di manakah posisi arus utama yang telah tergeser oleh ideologi-ideologi baru tersebut? Boleh dikatakan, bahwa (sekali lagi) mungkin inilah yang dikatakan dialektika eksistensi, bahwa arus yang tergeser akan menjelma menjadi arus perlawanan seiring dengan naiknya ideologi-ideologi baru yang terangkat. Akan menjadi semacam retorika bagi diri kita sendiri, masih wajarkah semangat eksistensi yang selama ini bergumam dalam pledoi-pledoi dari wajah-wajah pengagum semangat kemandirian? Apakah eksistensi sebuah harga mati, atau memang kita sendiri yang menyebabkan kematian semangat eksistensi itu sendiri?

Januari 16, 2007


No comments: