Thursday, June 7, 2007

Teraniaya di Tanah Moyang Sendiri*


Kami merindukan suara-suara berontak. Dari ujung-ujung gedung bertingkat dan sekarang berpagar mobil-mobil mewah.
Kami merindukan langkah-langkah berderap. Melaju bagai kuda binal di tengah padang menyala. Menggetarkan bumi pertiwi menjelang mati.
Kami merindukan wajah-wajah berpeluh pengorbanan. Tiada pamrih memperjuangkan sunyi.

Kami merindukanmu para pejuang. Yang sekarang sibuk berdesakkan meributkan eksisitensi.
Kami merindukanmu para seniman. Yang sekarang dinafikan oleh kemunafikan budaya.
Kami merindukanmu mahasiswa. Yang sekarang berkutat pada pragmatisme ilmiah. Dan terbuai oleh budaya-budaya instan.

Kami merindukan kedai-kedai kopi angkringan. Yang dulu menghasilkan ideolog-budayawan handal. Dan sekarang telah ditelan oleh warung-warung kapital.

Lalu kami harus bertiarap. Tergusur globalisasi jaman. Meratap di bawah atap-atap pembaringan.

“Teraniaya di tanah moyang sendiri. Hari suram. Mencekam.”*

“Bangsat. Bangsat. Hidup ini memang bangsat. Bila hukum tak pernah berpihak ke kita.”**

“Ketika rakyat lapar. Kalian berkelakar.”**

Sang pemimpin sibuk bercanda dengan sebatang boneka kayu. Para prajurit menahan tumit. Para menteri sibuk bersenggama dengan pelacur-pelacur politik. Para ulama mulai menggadaikan kitab-kitab suci.

Kampus-kampus mulai sepi. Masjid-masjid kembali sunyi. Rumah bordil semakin merintih.

Kami merindukan sesuatu yang entah. Untuk itu terlalu pasrah tertelan.

Masuk kampus siap jadi budak.
Masuk kantor jadi penjilat.
Masuk masjid [terpaksa] jadi imam.
Masuk pasar jadi korban.
Masuk terminal jadi preman.
Masuk rapat jadi aparat.
Masuk penjara jadi orang hebat.
Jadi penutur siap masuk kubur.

Lalu sekali lagi kami merindukan kalian yang entah.

Jogjakarta


* Dikutip dari lagu Teknoshit, Puisi dan Sampah
** Dikutip dari lagu Teknoshit, Realita

Anak Adam Bertanya Kepada Iblis


Seorang anak adam melangkah menembus waktu yang lengang. Seisi alam menyapa atau mungkin cuma perasaan saja. Namun ia tercengang menatap langit memerah murka. Ada apa gerangan? Bahasa kias selalu terbias saat angin berhembus penuh makna. “Coba tanyakan saja pada iblis yang bergoyang”, sahut pepohonan rindang dari balik sudut bebatuan hitam. Sang anak menghampiri iblis di atas pasir putih di dekat sebuah telaga.

Mengapa engkau bergoyang?” tanya sang anak dengan penuh keresahan.

Aku selalu menarikan kepastian jika engkau hendak bersua”

Memerah muka sang anak, lalu ia pun membantah, “Aku kebetulan menyusuri udara musim ini dan tiada urusan denganmu wahai makhluk durhaka.”

Iblis tertawa perlahan menikmati rasa dengki yang menjalar di pelupuk matanya.

Siapa yang durhaka wahai tanah bernyawa? Bahkan aku pun tiada pantas meladeni pikiranmu.

Makhluk jahanam layaknya engkau hanya pantas dipanggang api kebenaran, enyahlah.”

Kenapa aku harus tunduk kepadamu. Bukankah aku lebih pantas masuk surga? Karena iblis hanya sujud kepada Sang Pencipta dan bukannya sujud kepada moyangmu?”

Sang anak tertegun malu memandang iblis. Maka ia pun kembali berlalu sembari mengumpati iblis keparat tersebut. Sampai pada suatu ketika langkahnya terhenti oleh kehadiran iblis yang tiba-tiba menghadang langkahnya.

Mengapa kau menghadangku wahai Iblis? Aku tak sudi bersua kembali denganmu”

Iblis tertawa dan berseru sebelum mengenyahkan diri, “Aku selalu mengikuti arahmu anak adam, dan engkau tak pernah bisa lari”

.........................................................................................

----Jogjakarta--

Lokhed Resah Memaki Suasana Hatinya Yang Setengah Berkeping. Anjing.....


Lokhed resah memaki suasana hatinya yang setengah berkeping. Anjing. Hari ini mungkin hari terburuk bagi diriku, entah denganmu ataupun persetan dengannya. Pagi tadi polisi sialan bertebaran bagai kuman di pinggir jalan. Aku naas. Lisensiku habis. Dompet pun menangisi lembaran hijau yang kutepiskan ke pelipis meja polisi berdaki.

Motor melaju kencang. Segera menunaikan janji. Tapi setengah putaran kulalui tak kutemui petunjuk jalan. Pimpinan mulai meradang karena aku tak kunjung datang. Sudah, titipkan saja pada penjaga. Aku meringis. Malu bercampur serapah tak bertepi. Biarlah. Tak apa.

Tapi yang membuatku hampir lumat menahan emosi adalah dirimu. Entah dan entah. Aku tak tahu. Ketika aku sadar bahwa aku hanya pengganti dirinya di dalam dirimu. Itu berselang sedu, lalu gelisah melandaku. Aku berlalu pelahan. Mungkin bagai prajurit tua. Sebab mereka tak pernah mati, hanya saja memudar dan menghilang. Begitulah aku. Mungkin bagimu. Persetan dengannya. Dan itu kulalui begitu saja. Getir mengalir, rindu memuncak lalu terbang diterjang realita. Dirimu telah kembali ke dalam dirinya. Dan aku kembali ke diriku yang semula, tapi tak pernah bersua kepada merah yang menggelora. Karena itu telah hancur. Bersama menuju senja. Kemudian malam kembali menyertaiku. Lokhed kembali bermimpi. Bukan tentang tentang dirimu atau persetan dengannya. Tapi tentang kilasan yang mengunjungi, tak tahu pasti. Sebab dalam kilasan itu diawali dan dipungkaskan oleh kehadiran dirimu, dan bukan persetan dengannya. Anjing.


Pada suatu Jogja, resah yang melintas.

Realita


Saat hari kemarin menghilang. Saat itu segala lepas. Berlalu dijemput malam. Suatu kehilangan yang memukau. Tanpa menimbulkan sebekas rindu. Satu persatu masing-masing peran perlahan memudar. Mereka sudah terlelap, membisu lalu hanyut. Begitulah dirinya. Menafikan sesal memuja masa depan. Merobek mimpi dan menatap keluh kesah. Secarik hari ini telah dipegangnya. Tak tahu untuk apa dan siapa, namun ia mantap meyakininya. Ia pemiliknya. Dan ia adalah realita.

Realita mungkin kontemporer. Hanya berlaku saat ini, zaman ini, dewasa ini dan hanya pada hari ini. Namun, itu tak selalu. Ada berbagai kontensi yang berlebihan saat realita mulai diperdebatkan. Ia tak cuma berlaku sementara, tapi ia hadir karena adanya hari depan. Realita hadir sebagai persiapan untuk jenjang berikutnya. Dengan meninggalkan satu kesimpulan bahwa setiap waktu adalah realita. Entah itu kemarin, hari ini dan masa depan.

Terkadang realita diaktualisasikan oleh dialektika kenyataan. Orang bermimpi dan beranggapan itu sebagai fakta yang masih samar. Ketika dihadapkan pada kenyataan yang berseberangan dengan kesamaran itu. Pikiran akan berontak. Itulah realita. Lalu berulangkali hidup senantiasa diiisi pergulatan antara tesis dan antitesis sampai munculnya skeptisitas terhadap realita.

Untuk menjawab cukup dengan mengembalikannya ke permukaan. Realita merupakan aset individual. Tak perlu mempermasalahkan waktu dan realita. Maxim Gorky menyatakan; “Orang seperti kami tidak suka akan pembicaraan yang berkaitan erat dengan masa lampau, dan selalu mempunyai alasan-alasan yang kurang lebih dibenarkan untuk tidak melakukan hal yang demikian, karena kami percaya akan jalan kami masing-masing; begitulah kami percaya luar-dalam meski memiliki keyakinan yang minim terhadap diri sendiri.” (Di Tengah Padang Rumput)

Saat Prabu Yudhistira meratapi kematian para putra dan kemenakannya dalam kemenangan Bharatayudha. Itulah realita. Amsal kubu Pandawa menderita kekalahan dan mengalami pembantaian keturunan oleh Kurawa, itu juga merupakan realita. Tak boleh dipungkiri. Semuanya sudah termaktub, hanya saja masing-masing peran yang tertulis terkadang belum sepenuhnya mengamini. Lalu apakah realita berkonotasi kepasrahan? Belum tentu. Realita adalah wujud formulasi guratan nasib diadu bersama keyakinan untuk mempertahankan diri.

Adakah yang masih menyalahkan realita. Karena mungkin saja ia cuma seorang bocah kecil yang duduk menatap secarik kertas bertuliskan “hari ini.” Tulisan tersebut tak akan pernah berubah sampai akhirnya sang bocah tereliminir waktu yang dikebiri oleh sesal.

Jogjakarta, akhir April 2007

If There is a God


“If there is a God
I know He likes to rock
He likes to slap guitar.....”

[Billy Corgan & Radiohead, If There is a God]

Melintasi batas tafsir. Silakan jika anda menganalogikan sosok atheis yang mempunya hobi membanting-bantingkan gitar di atas panggung. Tapi saya bukan berminat untuk mengajak anda menjadi seorang liberal yang membebaskan akal dari istilah dogma dan dianggap sebagai kutukan. Saya juga bukan pendukung atau penentang Nietzsche dengan menyiratkan kutipan-kutipan di atas. Saya bukan nihilis, ataupun Atheis.

Banyak dijumpai hipokrasi teologis yang menjalar ke sendi-sendi kehidupan. Baik dalam lingkup teritorial-budaya secara khusus maupun kajian peradaban pada umumnya. Perintah tuhan diwartakan, diagungkan, dipaksakan, lalu dijadikan slogan. Dengan menafikan makna ketuhanan, samar bahwa dunia terlalu keji jika mengatasnamakan tuhan. Baik oleh masyarakat yang beragama atau mungkin masyarakat tak bertuhan.

Asma tuhan dilacurkan oleh seperangkat prostitusi jaman. Dengan semangat hedonis yang dihambur-hamburkan lalu diapologikan oleh kehadiran tuhan sebagai pembenar.

Apakah kita masyarakat bertuhan? Tuhan hadir melengkapi ruang keterbatasan manusia. Itu suatu tuhfat yang sangat berharga. Jika kita masih saja merasa terbatas dan menyembunyikan tuhan. Kemunafikan.

Manusia mengenyahkan nyawanya sendiri. Seolah ia tak perlu bantuan tuhan.
Manusia mengharapkan mati muda. Seolah tua adalah sebuah kesalahan.
Manusia mengangankan tak pernah dirahimkan oleh ibunya. Takut oleh kebengisan dunia.
Bukan takut kepada tuhan.

Tuhan benci pengecut. [God Hates Coward, Tomahawk]
Tuhan benci pecundang.
Kita adalah pengecut.
Kita sedang dipecundangi oleh diri kita.

Dipecundangi waktu
Dipecundangi amarah
Dipecundangi cinta
Dipecundangi situasi
Dipecundangi umur
Dipecundangi teman
Dipecundangi musuh
Dipecundangi malam
Dipecundangi nafsu
Dipecundangi setan
Dipecundangi dunia.

Lalu pelan membayang.
Kelahiran tak lagi dianggap keindahan.
Kematian bukan lagi kesakralan.
Kehidupan bukanlah hal yang mulia.

Waktu yang terbuang adalah sisa yang sumir.

Untuk semua epitaf yang terukir di atas batu-batu kenangan. Mereka bukan siapapun. Mungkin merasa dipecundangi oleh maut, mereka terdiam. Dibungkam oleh kehadiran tuhan. Bersama tumpukan sampah yang telah dikeluhkan pada-Nya.

Jogjakarta, Mei 2007

Kita Adalah Epigon Sejarah


Kita adalah epigon sejarah. Bukan. Kita semata-mata plagiat.

Tidak layak jika peradaban masih terbengkalai oleh kesunyian moral. Ruang yang hadir menyediakan banyak kesempatan bagi pewaris kehidupan. Namun semuanya menguap oleh wabah liberalisasi jaman.

Kita lupa. Kita hilang. Resiko dari buah kesakitan susila. Belum puas martabat ditertawakan kehinaan. Sakit yang renta. Telah menggerogoti wajah keriput kehidupan.

Kita mempertanyakan sejarah. Dalam lintasan sejarah termuat substansi peradaban yang tersusun oleh garis-garis budaya. Semua adalah konstruksi humanis, proses interaksi yang tercemar oleh kesalahpahaman kultur. Baik kultur sosial, budaya, politik dan agama.

Pewaris merupakan tugas yang berat. Dari sekedar penjiplak.

Sejarah bukan untuk ditiru mentah-mentah. Mungkin itu luhur atau sampah. Tetapi untuk dijaga nasabnya dari ketidakkadilan kebenaran. Ketidakadilan yang lahir dari buah kebebasan.

Sejarah selalu jadi otoritas kekuasaan. Oleh karena itu sudah mahfum jika wajah sejarah selalu berganti. Tergantung dari topeng penguasanya.

Hidup selalu paradoks. Karena itu sejarah kadang tak berpihak ke rakyat. Sejarah menjadi bagian dari penguasa untuk merebut kehormatan rakyat. Kehormatan merupakan martabat. Martabat akan tenggelam oleh kebebasan yang diinjak. Digantikan oleh kebebasan lain yang dinamakan kemerdekaan.

Lambat laun sejarah akan menghilang. Kita lupa. Kita papa. Kenyang akan kebenaran yang dijejalkan ke kantung paradigma. Lalu kita akan meniru. Bukan mewarisi. Bukan pula melanjutkan. Setelah semuanya awam. Hanya akan menjadi kisah biasa. Dan diagungkan untuk diambil sari-patinya berlabel suri tauladan atau pengalaman. Karena pengalaman adalah guru yang baik. Tetapi bukanlah kebenaran.

Sejarah menjadi jumawa. Sejarah menjadi usang. Dan berakhir pada lembar-lembar buku pelajaran di sekolah.


Jogjakarta, Mei 2007

Catatan Semu Untuk Sebuah Makna Kebanggaan

Apakah kebanggaan dapat dibanggakan. Berbentuk apa dan berasa apa. Aku, kami, kita, kalian dan mereka tak akan pernah paham. Karena kebanggaan itu semu. Jadi tak mungkin ada kebanggaan semu. Karena tak ada dualisme yang abstrak. Kalaupun ada, itu mesti banal.

Sekedar memindai untuk lebih literal. Menurut KUBI (1985), kebanggaan tersusun dari kata dasar ‘bangga’ yang bermakna besar hati;merasa gagah karena memiliki keunggulan. Sedangkan jika cita rasa humanisme terkontaminasi oleh unsur kebanggaan, dapat disangsikan bahwa era kemanusiawian telah lewat. Rasa bangga muncul bila hasrat untuk diakui keunggulan individu meluap drastis. Keutamaan akan kadar intelektualitas, materi, atau eksistensi takkan mempan di hadapan Dzat Tuhan. Tentunya bagi mereka yang bertuhan.

Warna kebanggaan sangat pekat, sehingga muncul anggapan bahwa kita dapat berlindung pada rasa bangga yang dimiliki. Semacam kerancuan bahkan mendekati kebebalan makna. Mungkin kita merasa bangga karena orang terdiam atau bahkan acuh padanya. Atau mungkin juga, orang yang menuduh kebanggaanlah yang justru melindungi wajah kecemburuan. Ini mungkin sekedar kompetensi eksistensi yang konyol.

Jika semua semu. Rasa bangga. Hal yang dibanggakan. Atau rasa semu itu sendiri. Ada baiknya urungkan saja tikaman-tikaman itu. Atau diam. Lebih baik jika bubar.

Jogjakarta, Mei 2007

Sub-Kultur - sebuah permukaan


Istilah Sub-Kultur digunakan dalam ilmu sosiologi, antropologi dan studi kebudayaan untuk mendefinisikan sekumpulan orang dengan perilaku dan keyakinan yang berlainan dengan wilayah kultur dominan di mana mereka termasuk di dalamnya. Sub-Kultur dapat menjadi lain dengan kultur primernya akibat dari perbedaan usia, umur, jender, atau bahkan kualitas estetika dan aliran politik. Kadang-kadang, sub-kultur dimaksudkan untuk menggambarkan semangat oposisi terhadap nilai-nilai kultur dominan.

Dick Hebdige menyatakan bahwa tiap anggota dari sub-kultur terkadang mengidentifikasikan dirinya melalui simbol-simbol tertentu dan gaya hidup yang berbeda. Studi dari sub-kultur juga lebih cenderung menekankan pada gaya berpakaian, pemakaian simbol, musik, gaya hidup yang ditampilkan oleh sub-kultur dan juga pada pemahaman di mana simbol-simbol yang sama diinterpretasikan oleh kultur yang dominan. Jika sub-kultur dikarakterkan sebagai bentuk perlawanan sistematik terhadap kultur dominan, dapat diartikan juga sebagai kultur perlawanan.

Sub-kultur bukannya lahir dari ruang hampa. Ia selalu hadir dalam ruang dan waktu yang saling berkaitan dengan peristiwa-peristiwa lain yang menjadi konteksnya. Sub-kultur lebih akrab dan indentik dengan kaum muda. Karena tiap generasi muda selalu merepresentasikan gaya untuk menandingi nilai-nilai konvesional orang tua yang dianggap kolot dan represif.

Budaya anak muda adalah fesyen, musik dan pesta. Budaya orang tua kurang lebih juga sama, hanya memiliki perbedaan paradigma. Kelompok tua lebih menekankan pada usaha-usaha untuk memberikan pemenuhan kebutuhan dan penyiapan agar seorang anak mampu melalui proses transisinya menuju dewasa. Akibatnya terdapat dikotomi yang jelas antara masa muda dan tua. Tentunya pihak tua yang mempunyai legitimasi dan otoritas kuat akan berupaya keras mengantarkan proses tersebut secara wajar. Tanpa kecuali dan harus ditaati.

Fenomena ini menimbulkan gelombang perlawanan yang bermula dari rasa ketidakpuasan. Setiap usia memilki fasenya tersendiri. Dan ketika anak muda mendapat tekanan yang berpotensi menghambat daya kreatifitasnya, mereka akan mengadakan suatu bentuk perlawanan. Entah itu dalam bentuk simbol-simbol, gaya berpakaian, aliran musik, gaya hidup atau bahkan aliran politik. Yang penting berbeda dengan kelompok konservatif. Ini yang menyebabkan berbagai benturan paradigma yang tak bisa dielakkan. Anak muda selamanya berusaha mencari kedaulatan hidup dan menemukan maknanya. Ketika sindiran-sindiran mulai terarah, ada banyak pilihan, apakah ia akan berpaling [untuk dianggap dewasa] atau tetap berproses dan berpikir dinamis [dan dianggap belum dewasa].

- Jogjakarta -

Eksistensi (Mungkin) Sebagai Harga Mati


Kadangkala sebuah pertanyaan diawali dengan sebuah perkiraan. Tentang hal yang mungkin atau juga tidak mungkin. Itu bukan hal baru ataupun aneh. Sebab, kemungkinan adalah suatu hal yang dapat dengan mudah menggamblangkan ekspresi keinginan menyampaikan pendapat dan mungkin saja akan membusuk dalam otak jika tak segera dituntaskan. Kali ini kita akan segera membahas tentang seluk-beluk kehadiran fenomena eksistensi dalam gaya bersolek pelaku industri social-makeover, dan hal tersebut lebih akan mudah diawali dengan sebuah perkiraan.

Mungkin wacana anak muda selalu bergolak ke arah perjuangan eksistensi dan bagi sebagian pihak terasa basi. Sebab tak ada yang baru dalam hal tersebut, hanya saja selalu ada kemasan-kemasan bervariasi, terbukti dengan meningkatnya tingkat pengekspresian diri dari tiap individu. Sejarah eksistensi selalu muncul dari akibat rasa-rasa ketidak-puasan akan kesamaan pola pikir dan paradigma hidup masyarakat. Kecenderungan untuk melakukan aksi yang bersifat baru (baca:beda) merupakan hal wajar ketika dihadapkan pada permasalahan bahwa sifat-sifat mainstream diidentikkan dengan pola pikir tak mandiri. Keseragaman gaya berpakaian, model rambut, selera bermusik bahkan sampai menyentuh ke area wacana politik seringkali mendapatkan tudingan sinis dari para aktor sosial yang berusaha menganggap gaya hidup mereka adalah lawan dari arus utama tersebut.

Eksistensi dalam pengertian umumnya adalah aliran filsafat yang memberikan perhatian besar pada “eksistensi individu” dan sifat-sifat primordialnya di dunia. Individu, atau ego, menurut kaum eksistensialis adalah wujud yang hakiki. Setiap individu memiliki alam sendiri dengan moral, aturan-aturan hidup, keyakinan dan pandangan hidupnya. Gaya paradigma tersebut mendorong masing-masing individu untuk berbuat bebas dalam menentukan kedudukannya di tata sosial masyarakat. Sehingga salah satu jargon yang selalu dikumandangkan adalah anti kemapanan. Kemapanan dalam hal ini bisa juga didefinisikan sebagai sesuatu hal umum yang telah menjadi kiblat untuk berpikir dan bertindak.

Para pengusung ideologi eksistensialis kelompok muda selalu berupaya dengan berbagai aksi-aksi individualistik kolektif untuk melawan gaya keseragaman berpikir masyarakat. Ada saja ragam variasi yang mereka lontarkan dalam menghadapi itu semua, antara lain dengan mendirikan komunitas-komunitas kecil, kelompok-kelompok diskusi, musik, politik, seni bahkan hobi atau kegemaran. Kesemuanya itu bermuara ke satu slogan berbenderakan anti-mainstream. Mungkin, kita semua belum terlalu menyadari bahwa semangat perlawanan akan arus utama akan menjadi sesuatu hal yang klise ketika pada akhirnya semangat tersebut menggeser kedudukan arus utama dan mengisi posisinya sebagai ideologi yang menghegemoni paradigma anak muda. Lihat saja fenomena gaya hidup anak muda dalam kurun waktu kurang dari sepuluh tahun terakhir ini. Misalnya saja, gaya rambut mohawk yang selama ini identik dengan komunitas punk dapat dengan mudah ditemui di mana saja. Dari perempatan jalan, pasar-pasar, masjid, bahkan ke mall-mall sekitar. Busana-busana desain distro yang dulu pada awalnya merupakan semangat perlawanan terhadap hegemoni industri kapital sekarang dipakai oleh setiap orang yang mungkin belum tentu paham akan makna perlawanan itu sendiri. Baju fred perry atau ben sherman yang dulunya didominasi oleh anak-anak scooter dan skinheads juga mengalami hal yang sama. Begitu juga dengan ikon-ikon dan peranti-peranti yang telah menjadi semacam simbol semangat dinamis dari anak-anak muda pengusung awal semangat indie.

Tak ada yang salah dengan itu semua. Karena walau bagaimanapun juga, setiap individu memiliki hak untuk bertindak dan berpikir sesuai dengan apa yang diinginkan, tanpa kecuali. Bahkan kita semua mungkin adalah pengusung madzhab eksistensialisme, karena dengan rela dan ketulusan hati membiarkan kemandirian diri dalam bersikap. Tetapi kemandirian yang mana? Karena segala sesuatu di dunia antah berantah ini telah dibentuk oleh wacana media. Dan inilah yang akan mengganjal posisi kemandirian kita. Tentunya akan ada pula semacam pertanyaan penting; di manakah posisi arus utama yang telah tergeser oleh ideologi-ideologi baru tersebut? Boleh dikatakan, bahwa (sekali lagi) mungkin inilah yang dikatakan dialektika eksistensi, bahwa arus yang tergeser akan menjelma menjadi arus perlawanan seiring dengan naiknya ideologi-ideologi baru yang terangkat. Akan menjadi semacam retorika bagi diri kita sendiri, masih wajarkah semangat eksistensi yang selama ini bergumam dalam pledoi-pledoi dari wajah-wajah pengagum semangat kemandirian? Apakah eksistensi sebuah harga mati, atau memang kita sendiri yang menyebabkan kematian semangat eksistensi itu sendiri?

Januari 16, 2007


Ketika Bahasa Dikhianati Anak Muda


Sejarah anak muda selalu lahir dari perlawanan. Kontradiksi sosial yang menginginkan kemerdekaan kedaulatan kultur. Suara anak muda mewakili kekecewaan terhadap kaum konvensionalis yang konservatif. Untuk mengelak dan bukan sekedar dianggap artifisial.

Bahasa lahir juga akibat perlawanan. Atas keterbatasan komunikasi dengan budaya setempat. Mewujudkan preskriptivisme linguistik karena kecenderungannya yang selalu kontekstual. Tapi itu tak bisa dicegah. Kontekstualitas bahasa bukanlah korupsi. Setidaknya secara konotatif. Itu pasti. Tergantung lidah dan isi otak. Bukan kadar intelektualitas.

Jakarta sebagai ibukota, tempat orang-orang Indonesia yang memang atau dianggap paling berkuasa, paling cantik, paling kaya dan sebagainya berada, penting dalam menyebarkan bahasa Indonesia.

Di Indonesia, bukan hal yang aneh kalau kita [contohnya] mendengar radio-radio di daerah (bukan Jakarta) yang segmennya anak muda, penyiar-penyiarnya berbicara dengan dialek yang seragam. Seolah-olah, kalau tidak memakai gaya Jakarta, itu bukan gaya anak muda. Gejala apakah ini? Hegemoni gaya bahasa tampaknya telah mengakar di setiap anak muda Indonesia. Akomodasi kerancuan bahasa yang dipropagandakan melalui representasi kekuatan budaya pop telah mengebiri makna-makna bahasa itu sendiri. Dampaknya mulai terlihat dari penggunaan-penggunaan literatur kontemporer yang seharusnya menjadi ajang kreativitas intelektual kaum muda. Bahasa Indonesia mengalami krisis identitas. Itu jelas. Baik reduksi makna maupun estetika. Kita terlalu malas untuk menggali keberagaman kata dari bahasa Indonesia. Penggunaan kata-kata serapan asing lebih sering dipakai sebagai wujud intelektualitas dan kemalasan berpikir, daripada mencari padanannya yang seringkali dipertanyakan [atau diledek] entitasnya.

Akibatnya, Bahasa Indonesia cenderung mengalami pengkhianatan sistematik dari generasinya. Para penulis muda terlalu malas menelusuri rimba kata-kata. Sementara bahasa yang selama ini teraktualisasikan oleh keindahan sastra, berulangkali dipecundangi oleh arus utama yang katanya kontemporer. Hal ini menyebabkan dewasa ini banyak ditemukan para novelis, cerpenis, esais, namun belum berpotensi untuk menjadi sastrawan apalagi pujangga. Bahasa yang seharusnya dijadikan wahana untuk mengekspresikan pengalaman atau pemikiran tertentu, hanya menjadi sekedar medium untuk menyampaikan hal-hal tersebut dengan proses-proses penyederhanaan yang [sangat] keterlaluan.


Kita harus mengakui, bahwa selama ini penggunaan bahasa lisan anak muda Indonesia hampir didominasi oleh bahasa anak Jakarta. Tak ada yang patut disalahkan. Karena selamanya anak muda akan mencari identifikasi sekaligus akomodasi gaya yang dianggap pantas dan mendapat pengakuan eksistensi dari komunitasnya. Kita hanya akan mampu menemukan jawabannya pada peranan media massa. Yang secara umum memang terpusat di Jakarta. Media [televisi, majalah, radio] memegang peran penting untuk membuat logat Jakarta menjadi logat yang seolah-olah paling keren dan enak didengar. Media massa dan industri menciptakan “kebutuhan” anak muda demi kepentingan pasar, yang dikampanyekan sebagai cara bagi anak-anak muda untuk keluar dari identitas yang diinginkan oleh orang tua. Dan menarik juga untuk mencermati bagaimana media massa telah menciptakan satu ikon anak muda tertentu pada tiap jaman. Lalu, harapan cuma mampu mengungkapkan bahwa segalanya adalah proses dan tak ada yang nisbi. Bahasa adalah sumber kekuatan dan identitas yang mampu menyatukan gerak kultur anak muda yang semakin dinamis dan berputar. Pada saatnya nanti, anak muda Indonesia [harus] mampu memahami bahwa kita adalah bangsa yang memiliki kekayaan bahasa dan diakui tingkat kerumitannya di mata dunia. [Dari berbagai sumber]